Selasa, 20 Juni 2017

MUDIK

MUDIK
Cerpen By Odi Shalahuddin
“Pak, Bu, kita kok gak pernah mudik sih?” tanya Ara tiba-tiba.
“Ya, Pak, jadi setiap habis lebaran, kita cuma jadi pendengar cerita kawan-kawan,” adiknya menimpali.
Aku menghentikan laju tangan berisi nasi bercampur sambal yang siap memasuki lorong mulut. Kulihat istriku juga menghentikan laju gelas yang sudah berada di bibirnya. Kami berpandangan.
“Bapak sama Ibu gak punya kampung halaman, ya?” Ara lagi.
”Bapak-Ibu sama sekali tidak pernah bercerita masa kecil. Seperti di buku-buku, biasanya orangtua bercerita tentang sawah, tentang kerbau, tentang kambing, tentang sungai,” adiknya menyusul.
Aku meletakkan nasi dari telapak tangan, ke piring. Tinggal sedikit sebenarnya. Tapi aku rasa baiknya menghentikan dulu. Istriku juga telah meletakkan gelasnya di meja. Bibirnya diseka dengan kain lap. Aku membersihkan telapak tangan di air kobokan. Melap dengan kain yang lain.
”Ara pingin loh, ikut berdesak-desakan seperti di televisi itu, rebutan kursi di kereta atau di bus-bus besar,”
”Siapa tahu, nanti kita diwawancarai televisi, Aba bisa punya banyak cerita ke kawan-kawan. Tidak bengong,”.
Kupandangi kedua anakku. Mereka lepas bicara, sambil tetap menyantap makanannya.
”Bapak sama Ibu ketemunya bagaimana sih? Ara pingin ngerti deh. Ibu gak pernah cerita sih,”
”Aba juga pingin denger, cara Bapak merayu Ibu. Atau Ibu yang merayu Bapak?”
Kedua anakku tertawa cekikikan. Ibunya, mendelikkan matanya, sambil meletakkan ibu jari di bibirnya. Anakku hanya berhenti sejenak, lalu kembali tertawa lepas.
”Bapak sama ibu dulu suka ber-sms-an?” Ara.
“Atau chatting-chatting-an?”Aba.
Kembali keduanya tertawa. Aku jadi tersenyum memandangi kelucuan mereka. Ara anak pertamaku baru saja naik ke kelas enam SD, Aba, baru naik kelas tiga SD.
“Dulu belum ada HP. Juga belum ada internet,” aku berusaha menjawab.
“Wah, jaman Bapak-Ibu, jadul dong,” Ara.
“Jadul-jadulan, oooi….”Aba.
“HP dan internet itukanbaru saja. Ah, kalian ini terlalu banyak menonton sinetron sih,” ibunya ikutan bicara.
“Ehem… ehem…” Ara, sambil cengingisan.
”Eng.. ing…eng….” Aba menimpali
”Kalian ini lagi ngapain sih?” Ibunya bertanya.
”Merayu Bapak,” Ara.
”Juga Ibu,” Aba.
”Untuk?” Ibunya
”Biar lebaran ini bisa mudik,” keduanya hampir bersamaan sambil tertawa lagi.
”Biar ketemu Kakek dan Nenek” Ara
“Biar ketemu Om dan Tante” Aba.
“Biar ketemu Bibi dan Paman,” Ara.
“biar ketemu….. ketemu siapa lagi, Mbak?”. Aba kelihatan berpikir.
“Ketemu… ketemu siapa, ya…. ketemu sawah dan sungai,”
“ketemu…. ketemu siapa, Mbak…? Aduh.. ketemu….”
“ketemu apa aja deh,”
“Ya, ketemu apa aja deh,”
Tangan mereka bergantian mengepal. Dari tangan kanan yang terkepal, kemudian tangan kiri.
”Ok…ok..ok… kita mudik,”
”Asyiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkk,” keduanya berjingkratan….
Istriku sontak memandang diriku dengan mata terbelalak. Ia hendak berkata, tapi tak ada kata yang bisa terdengar.
”Sekarang, kalian bantu ibu beres-beres, gelas dan piring, bawa ke belakang, ikutan mencuci, setelah itu bersiap ke Masjid ya…”
”Oke, boss!!!” keduanya bersiap dengan tegap sambil meletakkan telapak tangan  dengan ujung sisi telunjuk menyentuh kening.
* * *
”Mas, maksud mas, gimana sih?”
”Kenapa,”
”Mudik…”
”Ya, mudik, kenapa?”
”Kemana?”
”Ke tanah leluhur kita,”
”Masssssssssss!!!” istriku memukul bahuku.
* * *
Kedua anakku terus bertanya, kepastian mengenai mudik. Setiap hari mereka menonton kerumunan orang di stasiun dan terminal bus serta pelabuhan. Setiap hari mereka menyaksikan jalan-jalan yang mulai memadat di satu penggal jalan yang selalu hadir setiap menjelang dan sesudah lebaran.
”Pasti.. Pasti.. Tenang saja. Kita tidak perlu berdesakan, tidak perlu khawatir kehabisan tiket,”
”Wah, gak seru dong Pak,” Ara.
”Ya, gak ada desak-desakannya, Pak?” Aba.
Keduanya memancarkan wajah kekecewaan. Entahlah apa yang ada di pikiran mereka. Mereka memang tidak pernah punya pengalaman mudik selama mereka lahir. Sama halnya dengan aku dan istriku. Mereka memang tidak mengenal kakek-nenek dan sanak saudara. Bukan bermaksud memotong tali silaturrahmi dengan saudara. Bukan bermaksud mengasingkan anak-anakku dari mereka semua. Tapi…..
* * *
Hari yang dinanti tiba. Selesai shalat ied, seperti biasa kami membangun tradisi bermaaf-maafan di antara kami, setelah itu berkemas. Wajah Ara dan Aba tampak cemberut.
”Masak mudik, gak bawa barang-barang seperti di televisi itu,”  cetus Ara.
”Iya…,” menyusul Aba.
”Tenang saja anakku. Kita benar-benar mau mudik, ayo, naik ke mobil,” istriku dengan wajah ceria mencoba membujuk mereka.
Perjalanan yang hening. Tidak ada yang bersuara. Ara banyak melamun, memainkan HP-nya. Aba sibuk dengan games. Aku juga diam. Istriku begitu pula. Dua jam perjalanan, kami telah tiba. Perjalanan yang sangat cepat lantaran di hari lebaran jalanan sangat sepi. Bila pada hari biasa, wah, tidak menjamin 3-4 jam bisa sampai sini.
”Nah, kita sudah sampai,” aku menghentikan laju mobil, langsung turun.
”Pak? Bu?” Ara kebingungan. Tapi ia mengikuti ibunya yang memegangi tangannya turut turun. Lalu Aba.
Kami berdiri di pinggiran jalan. Mataku memandang ke depan. Tapi pikiran melayang. Kukira juga dengan istriku. Anakku berkali-kali menarik tangan.
”Ara, Aba, itulah kampung halaman kita. Tidak ada sungai, sawah, suara burung, sapi atau kerbau. Dulu memang banyak, tapi tidak saat ini. Semua sudah berganti, menjadi areal industri”
”Tapi itu kan pintu gerbang,” Ara.
”Ya, sepanjang jalan setelah pintu gerbang dan bangunan-bangunan itu, dulu Bapak dan Ibu dilahirkan. Tumbuh besar seperti kalian, tapi tidak seberuntung kalian. Pabrik-pabrik di sepanjang jalan ini dulu adalah perkampungan seperti yang kalian bayangkan selama ini. Kakek-Nenek, dan saudara-saudar kalian, dulu dimakamkan di tanah itu pula,” aku tak tahu apakah Ara dan Aba bisa memahami. Tapi itu harus kusampaikan kepada mereka.
Air mataku mulai jatuh. Demikian pula istriku. Ara dan Aba masih kelihatan kebingungan. Semakin cemberut merasa dipermainkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar